Mendefinisikan keseimbangan antara kehidupan dan bekerja pada saat ini bukanlah hal yang mudah. Integrasi digital yang semakin maju, justru mendorong budaya “online”, yang mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Belakangan ini work-life balance sering sekali disebut, dibicarakan, dan dibahas. Namun pada praktiknya hal tersebut lebih sulit dipraktikan, terutama masalah karena kurang mendalamnya pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Apakah yang dimaksud dari work-life balance adalah bekerja 8 jam sehari, kemudian sisanya adalah kehidupan pribadi? Jika dihitung secara kasar, kita bekerja selama 8 jam, tidur 8 jam, 2-3 jam adalah waktu yang dibutuhkan untuk pulang pergi kantor, berarti kita memiliki sisa waktu 5-6 jam untuk diri sendiri.
Namun jika sudah menikah, maka waktu tersebut bisa berkurang lagi menjadi beres-beres rumah, menyiapkan makanan, dan membantu anak membuat PR (asumsikan kita tidak memiliki pembantu rumah tangga). Apakah hal tersebut sudah seimbang dan cukup, sehingga bisa dikatakan bahwa kita memiliki work-life balance?
Ide dari work-life balance sendiri terus berevolusi sepanjang jaman, dimana setiap generasi memiliki makna masing-masing mengenai apa yang dimaksud dengan work-life balance. Ini merupakan hal yang sangat unik dimana setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda tergantung dari kondisi, situasi, dan perspektif orang-orang dalam memandang kehidupannya.
Apa itu Work-Life Balance?
Makna dari work-life balance adalah sebuah cara pandang orang yang bekerja mengelola waktu hidupnya yang dihabiskan di dalam dan di luar pekerjaan.
Waktu di luar pekerjaan misalnya seperti membangun relationship, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan melakukan aktivitas atau hobi yang menarik minatnya. Metode yang digunakan masing-masing individu untuk menangani semua pekerjaan dan tuntutan hidup membentuk keseimbangan antara kehidupan pribadi dan bekerja.
Definisinya sederhana, namun setiap pekerja berusaha untuk mendefinisikannya sendiri secara teori dan sesuai dengan perspektif mereka, namun pada kenyataannya tidak semua berhasil mencapai keseimbangan tersebut.
Evolusi dan Sejarah Singkat Mengenai Work-Life Balance
Pada akhir Revolusi Industri, orang rata-rata bekerja selama 14-16 jam sehari, 6 hari seminggu. Jam kerja yang panjang ini menimbulkan masalah sosial dan kesehatan, sehingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengurangi jam kerja bagi perempuan dan anak-anak.
Sekitar waktu yang sama, para pekerja di Amerika Serikat harus bekerja lebih dari 100 jam seminggu. Jam kerja ini menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan yang serius, hingga akhirnya pada tahun 1940, pemerintah Amerika akhirnya menetapkan undang-undang yang menetapkan waktu kerja adalah 40 jam kerja seminggu.
Hal ini pun akhirnya banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia; 8 jam sehari selama 5 hari kerja, dan 2 hari di akhir pekan untuk menyeimbangkannya.
Istilah work-life balance sendiri pertama kali muncul di Inggris pada sekitar tahun 1980-an pada saat demonstrasi Gerakan Pembebasan Wanita (Women’s Liberation Movement). Para wanita turun ke jalan untuk meminta hak mereka atas jam kerja yang lebih fleksibel dan diadakannya cuti hamil bagi perempuan.
Pada saat itu, laki-laki secara sosial tidak terbebani untuk mengejar tujuan karir mereka, tanpa harus merasa khawatir tentang rumah tangga dan membesarkan keluarga. Sementara perempuan yang bekerja diharapkan untuk dapat bekerja sambil mengurus dan bertanggung jawab atas rumah tangga dan membesarkan keluarga.
Perkembangan Work-Life Balance Pada Saat Ini
Saat ini, makna work-life balance telah bergeser menjadi suatu gabungan dari isu yang ada dengan strategi manajemen waktu yang efektif bagi karyawan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan kerjanya. Termasuk di dalamnya juga mencakup pencegahan kelelahan dan manajemen stres yang rentan dialami oleh banyak pekerja.
Saat ini istilah work-life balance pun berlaku untuk seluruh pekerja, tanpa memandang gender. Salah satu cara yang umum dan populer digunakan oleh perusahaan untuk memastikan karyawannya memiliki work-life balance adalah dengan menerapkan flexi time atau flexible time (waktu fleksibel) pada perusahaannya.
Jika normalnya orang kerja dari pukul 9 pagi sampai 5 sore, maka dengan flexi time dapat memaju-mundurkan jam kerjanya; misalnya jam 07.00-15.00 atau jam 10.00-18.00, selama waktu kerja tetap 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Beberapa berpendapat bahwa pendekatan ini hanya menggeser unit waktu, dan tidak menjawab kebutuhan yang lebih dalam akan waktu berkualitas. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut cukup efektif; misalnya jika berangkat lebih pagi dan pulang lebih cepat, maka banyak yang tidak perlu terjebak macet, sehingga waktu pribadi tidak akan habis untuk dijalan saja.
“Reconsider your definitions. We are prone to judge success by the index of our salaries or the size of our automobiles rather than by the quality of our service and relationship to mankind.”
– Dr. Martin Luther King, Jr.
Namun, perkembangan integrasi digital, terutama sejak pandemi yang melanda seluruh dunia, makna work-life balance sendiri bergeser kembali dengan mengancam kebebasan yang diperoleh dari waktu fleksibel dan mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Banyak karyawan yang pada akhirnya menggunakan waktu pribadi untuk tetap bekerja selama di rumah. Memang pada jam kerja, karyawan bisa melakukan apa pun sesukanya karena tidak ada pengawasan dan tidak berada di lingkungan kantor.
Namun, beberapa yang memiliki rasa tanggung jawab akan berusaha bekerja sesuai dengan waktu yang ditentukan, walaupun waktu kerja jadi bergeser dari waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut membuat semakin sulitnya para karyawan untuk mengetahui di mana pekerjaan berakhir dan kehidupan dimulai.
Work-life balance merupakan jargon yang lebih mudah diucapkan dibandingkan dipraktikkan. Tidak semua orang dalam satu perusahaan memiliki mental atau persepsi yang sama soal ini. Adanya ambisi dan keinginan untuk tampil, dan ketakutan kalau tidak bisa dihubungi setiap saat membuat banyak orang bekerja lebih dari yang telah ditetapkan.
Semuanya kembali lagi pada budaya, jenis pekerjaan, dan industri perusahaan tempatmu bekerja. Tanya pada dirimu sendiri:
- Apakah work-life balance penting menurut kamu?
- Apakah mungkin mempraktikan hal tersebut di tempat kerjamu?
- Apakah kamu merasa burn-out (sangat kelelahan), depresi, dan stres dengan etos kerja perusahaan tempatmu bekerja?
- Apakah pekerjaan ini setimpal dengan hasil yang didapat (dalam bentuk gaji atau karir)?
Kamu sendiri yang bisa menjawab dan menentukan apa makna work-life balance untukmu.